ivacwicha-header

13 Kesalahan Komunikasi Orang Tua ke Anak

Konten [Tampil]
Assalamualaikum sahabat semua,

Semoga selalu mendapat perlindungan
اَللهُ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dari virus corona yang semakin menyebar ke seluruh Indonesia. Apa nih kesibukan para mommies selama sosial distancing dan tetap #dirumahAja? 
Pastinya tetep harus produktif dan semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta yaa...


Minggu lalu, coba ikut kulwap lagi nih, kali ini diadakan oleh High Class Response yang membahas tentang kesalahan-kesalahan umum orangtua dalam berkomunikasi dengan anak. Dalam kulwap ini, kita mendapat banyak keuntungan lho...
Apa aja itu?
- E-book
- Challenge harian (Selama 7 hari)
- Tanya Jawab dan Feedback selama 24 jam
- Hadiah Buku "Lima Langkah Komunikasi
Efektif, agar Anak Tumbuh Optimal" untuk Peserta Teraktif

Di hari pertama materi disampaikan oleh Pak Adlil Umarat atau lebih akrab dipanggil Pak Ading, yang merupakan seorang Childhood Optimizer Trainer. Setelah itu dilanjutkan dengan sesi Q&A yang dikirim ke email moderator, dimana sesi tanya jawab ini dilakukan secara langsung dan bisa langsung kasih feed back jadi bisa jelas dan tuntas. Setelah itu kita diminta mengikuti challenge selama 7hari yang dilaporkan melalui website HCR for Parents, dari challenge itu kita diminta untuk share insight via wa group dan boleh juga di sosial media.
Nah, sayang banget klo saya simpen sendiri kan? makanya saya mau coba share disini, sapa tau bisa bermanfaat..Aamiin

Langsung aja ya...

13 kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak mereka

1. Direct melulu

Maksudnya? Dalam komunikasi, orangtua selalu men-direct anaknya alias mengarahkan terus anaknya. Dia langsung memberitahu apa yang harus dikerjakan anaknya. Pada kasus lain, orangtua yang otoriter, merasa dirinya paling benar, paling banyak memakan asam-garam
kehidupan, dibandingkan anaknya. So, anak harus manut kepada apapun perkataan orangtua. Ketika anak balik bertanya, orangtua menganggap itu sebagai bantahan, keras kepala, melawan, dan lain sebagainya. 
Hal ini kurang bagus buat perkembangan anak, karena anak akan jadi kurang inisiatif. Dia tidak terbiasa berpikir pada solusi jika menghadapi masalah di kemudian hari. Yang ada, ketika mendapat masalah, dia akan menunggu, menunggu, dan terus menunggu. Padahal, zaman now, kita butuh orang yang inisiatifnya tinggi jika ingin berperan besar.

2. Komunikasi hanya 1 arah

Orangtua tidak memberi jeda kepada anak untuk merespon apa pesan yang disampaikan orangtua. Belum sempat menjawab, anaknya sudah diberondong pertanyaan yang bejibun jumlahnya. 
Maka dari itu, jadilah orangtua yang memberi kesempatan kepada anak untuk menjalankan critical thinkingnya. Dengan begitu otak anak akan bekerja secara optimal untuk menghubungkan data yang ia terima. Tidak melulu menerima doktrin-doktrin belaka, agar otaknya sehat, banyak koneksi di neuronnya.

3. Bernada kelewat tinggi di 5 oktaf

Nah ini nih, kelatahan emak-emak dari jaman dahulu kala. Orangtua kerap kali bicara dengan nada tinggi kepada anak dengan harapan nada tinggi yang diucapkan itu bisa membuat anak langsung patuh, manut dan langsung mengerjakan apa yang diperintahkan. Memang, anaknya akan patuh saat itu, tapi sesungguhnya dia merasa tidak nyaman.
Bisa jadi anak patuh karena merasa takut saja, sehingga saat tidak ada orangtuanya, anak akan 180 derajat berbalik arah melakukan apa-apa yang dilarang dan tidak melakukan apa-apa yang disuruh orangtuanya. 
Alangkah baiknya, sebagai orang tua bicara ke anak dengan nada 2 oktaf. Itu seperti bicaranya orang yang sedang duduk berdampingan, seperti orang menyapa orang lain disampingnya ketika menunggu bus di halte, “Ibu mau kemana?” Tidak mungkin kita teriak-teriak menanyakan orang untuk basa-basi bukan?

4. Bicara penuh amarah

Banyak orangtua sudah terpancing amarahnya, lalu pakai nada tinggi dan berteriak-teriak memanggil nama anaknya, disertai suara yang parau sehingga pesan inti yang ingin disampaikan malah tertutupi. Anak yang mendengarnya jadi merasa kaget, takut, dan ketika ia dengarkan lebih jelas lagi, ternyata ia tak menangkap apa esensi dari pesan yang disampaikan orangtuanya. “Sebenarnya orangtuaku itu maunya apa sih?” Itu pesannya belum mampu ditangkap anak, keburu dia sudah ketakutan mendengar suara tinggi, suara parau, muka merah padam. 
Akhirnya, yang terdelivery ke anak secara paripurna dan sempurna adalah RASA AMARAH. Rasa amarah itu, selalu saja bikin anak tidak nyaman, bahkan sampai trauma.

5. No eye-contact sama sekali

Banyak orangtua kalau bicara dengan anaknya dari jauh saja, tanpa menatap mata anaknya. Persentase kegagalan anak memahami pesan jadi lebih tinggi tanpa tatap mata. Jika Anda ingin menyampaikan hal penting, pastikan Anda tatap mata anak Anda. Lebih keren dan efektif lagi, jika Anda tatap mata anak Anda dari jarak 45 cm, apalagi jika pesan yang Anda ingin sampaikan itu, begitu penting. Insya Allah pesannya akan jauh lebih mudah sampai, dibandingkan teriak-teriak dari jauh. Mungkin bisa saja anak paham pesan kita, tapi kita secara tidak langsung sedang mengajarkan cara komunikasi yang TIDAK HORMAT kepada anak kita dan bisa jadi kelak anak meniru hal yang sama kepada orang lain. Na'udhubillah

6. Eye-level tidak sama

Banyak orang tua bicara dengan anaknya yang masih kecil dengan mata yang tidak sama levelnya. Maksudnya tidak sejajar, dimana orangtua berdiri dan tinggi posisinya, sementara anak ada di bawah dan dia harus mendongak melihat orangtuanya di ketinggian. Pesan yang terselubung dari posisi berdiri orangtua-anak ini adalah orangtua sebagai bos, tuan, raja, sementara anak adalah bawahan, pesuruh atau rakyat jelata. Relasi yang tercipta seperti master and slave (tuan dan budak), dimana derajatnya sudah beda jauh.
Jika hal ini berlangsung terus, anak bisa jadi takut ke orangtua. Ada masalah, dia akan pendam yang lama kelamaan bisa jadi bibit penyakit karena hormonnya tidak stabil. Ada masalah dipikirin terus, tanpa dibicarakan atau dicari solusinya.
Maka dari itu, saat berbicara dengan anak (apalagi anak kecil) sebaiknya orang tua jongkok menyesuaikan posisi tinggi anak kita. Setarakan level mata Anda, dengan begitu insya Allah anak akan lebih merasa dihargai dan lebih mudah menangkap apa yang disampaikan orangtuanya.

7. Not being present

Tidak hadir jiwa dan pikirannya saat bicara dengan anak. Jika kita ingin pesan kita efektif sampai dan dipahami dengan cepat oleh anak, maka jadilah orangtua yang hadir sepenuhnya 
dan seutuhnya bersama anak saat kita menyampaikan pesan tersebut. Jangan disambi dengan pikiran kita melayang-layang ke urusan kantor atau urusan domestik lainnya atau bahkan parahnya lebih fokus ke HP yang selalu ada di tangan.
Hadirlah buat anak saat Anda bicara dengan anak. Ini terkait dengan SOUL yang ingin kita hadirkan dalam interaksi.

8. Ketika diajak bicara oleh anak, orangtua sering menyambi dengan kegiatan tertentu

Hayoo...siapa nih yang sering ngelakuin?karena saya pun salah satunya.
Sebagai full moms dimana semua pekerjaan rumah di handle sendiri, anak bermain adalah waktu yang pas untuk nyambi kerjaan. Misalnya saat sedang memasak (wah, tanggung nih nanti gosong masakanku) atau saat mencuci piring tiba-tiba anak menghampiri dan mengajak bicara. Maka,berhentilah dari kegiatan apapun saat itu juga dan fokus menanggapi apa yang sedang dibicarakan oleh anak kita. 
Dengan demikian, kita sedang mengajarkan kepada anak kita untuk HORMAT kepada lawan bicara. Ini bagian dari berlatih atentif dalam komunikasi dengan orang lain dan merupakan attitude yang mahal.

9. Melarang anak untuk menangis

Banyak orangtua melarang anaknya menangis karena malu saat ada orang banyak atau merasa berisik. Padahal menangis adalah bagian dari penyaluran emosi seseorang dengan merilisnya. Apakah masalah besar jika seseorang menangis? Sebenarnya tidak juga. Semua orang boleh menangis. Mau itu anak laki-laki ataupun perempuan. Menangis menjadi barometer bahwa hatinya masih ada sensitifitas tingkat tinggi. “Silakan menangis jika itu membuat hatimu nyaman, nak. Tapi pastikan segera regulasi diri ya.” Itu jauh lebih baik, agar anak kita tidak kaku atau beku hatinya.

10. Menghindar atau membohongi anak untuk menyelesaikan suatu masalah

Misalnya saat melihat anak jatuh di bebatuan dan kesakitan, kita ingin membuat anak tenang dan tidak menangis. Kemudian kita berusaha alihkan ke hal lain, “Lihat ada pesawat tuh…?” Padahal tidak ada pesawat. 
Jika anak jatuh, beri rasa empati terlebih dahulu. “Sakit ya? Kita obati dulu ya. Mama paham, pasti sakit jika kena batu begini,” setelah itu follow up dengan mengobatinya.
Justru saat ada masalah seperti ini adalah kesempatan kita sebagai orang tua untuk menanamkan konsep qadha dan qadr ke anak, setelah anak merasa tenang dan tidak kesakitan lagi.

11. Orangtua sering membanding-bandingkan anak dengan anak lainnya

Bahkan ada orang tua yang membandingkan dengan dirinya saat kecil dulu. Misalnya, “Mama dulu tuh, Matematika 100 terus. Masak kamu dapat nilainya segini doang? Bikin malu aja.” Tidak ada orang yang senang dibanding-bandingkan, termasuk anak kecil sekalipun. Selain sudah beda zaman, juga kompleksitas dan tantangan kehidupan juga sangat berbeda jauh dibandingkan zaman dulu. 
Ketika Anda membandingkan ananda dengan saudara kandung, saudara sepupu, atau anak lain yang seusianya, anak akan mempunyai 2 respon. Jika anak kita kuat mental, dia akan tetap percaya diri. Tapi kalau anak kita lemah mental, dia akan drop dan jadi pribadi yang minder saat berhadapan dengan orang lain.

12. Menakut-nakuti anak dengan sesuatu yang tidak masuk akal

Misalnya nih ya pas anak sakit dan harus minum obat, orang tua biasanya menakut-nakuti dengan berkata “Ayo minum obat, biar tidak disuntik pak dokter” 
Mungkin saat itu anak mau minum obat, karena merasa takut dan selanjutnya kita akan mencari alasan-alasan lain agar anak mau minum obat, seperti “Awas polisi…. Ayok makan ada polisi. Jangan main jauh-jauh, Nanti kamu ditangkap polisi lho…” Itu contoh-contoh pembodohan anak yang tidak masuk akal dan anak jadi mengalami distorsi dalam berpikir dan bertindak.
Seharusnya ajarkan konsekuensi atau manfaat dari setiap apa-apa yang kita ajarkan ke anak. Tidak perlu menakut-nakuti atau memberi iming-iming hadiah agar anak menuruti mau kita. Jangan sampai kita menciptakan ketakutan atau berhala-berhala baru di hati anak untuk melakukan sesuatu, terlebih sesuatu itu suatu kewajiban baginya.

13. Orang tua tanya sendiri, dan dijawab sendiri

Yang terakhir nih, yang kadang kita secara tidka sadar melakukannya. Misalnya, “Kamu mau dimasakin sayur apa hari ini? Kangkung atau bayam?” Pas anaknya jawab kangung, orangtuanya langsung balas “Ah, kalau kangkung mah bikin ngantuk, sayur bayam aja ya….”
Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang kita ucapkan hanya sekedar basa-basi aja ke anak. Anak justru merasa tidak dihargai dan merasa malas menjawab saat kita benar-benar menanyakan suatu hal yang penting...
Jangan sampai kayak gitu yah Moms...


Nah itu dia tadi kesalahan yang sering terjadi saat berkomunikasi dengan anak. Jika kita renungkan lebih dalam, mana sih poin kesalahan yang paling sering kita lakukan dalam berkomunikasi dengan anak kita? 
Semoga dengan list ini kita jadi paham dan menyadari, serta berusaha setiap harinya untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut. Sehingga hubungan dengan anak terjalin dengan baik dan anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal.
Yuks moms kita sama-sama mencetak generasi anak yang percaya diri, inisiatif, dan empati. Dimana semua itu bisa terwujud dari konsistensi kita dalam memperlakukan anak kita setiap harinya..
Semangat ya, kita pasti bisa!!
Iva C Wicha
Parenting Enthusiast, Happy to share #FunLearning idea for Kids on my Instagram, Email: ivacwicha@gmail.com

Related Posts

23 komentar

  1. Masih banyak banget nih pr dalam pengasuhan 😭😭
    Terkadang kalau sudah emosi suka lupa apa yang sebenarnya sudah kita tahu.

    Makasih ya mba sharingnya, jadi pengigat buat aku
    Semoga kita bisa menjadi orangtua yang terbaik untuk anak kita

    BalasHapus
  2. Never stop learning y mba..Semoga nanti aku sebagai ornagtua bisa menerapkan Hal ini.

    BalasHapus
  3. MasyaAllah, ilmu lagi buat saya. Jazakillah sudah sharing ya mba

    BalasHapus
  4. subhanallah....hampir semua pernah dilakukan :(
    astaghfirullah
    semoga bisa lebih paham...nice sharing mba, makasih banget 🙏

    BalasHapus
  5. termasuk ini juga nih mba, kalo anak-anak kan masih proses ya dalam hal berbicara. Nah mereka sebut mobil aja mobing misalkan, itu tuh masih d ikutin sama para orang tua, seharusnya kan kita sebut aja nama aslinya ya mobil

    BalasHapus
  6. iya mba...sprtinya memang lucu saat qta mengikuti cara bicara anak kecil, pdhl justru itu salah 😊

    BalasHapus
  7. Jazakillah khairan ilmunya Mbaa

    BalasHapus
  8. Makasih remaindernya.
    Masih harus banyak belajar lagi dalam pola pengasuhan.

    BalasHapus
  9. Wah, ilmu yg penting bgt nih buat aku yg belum berumah tangga. Hehe jadi belajar dulu dan emang hal-hal yang disebutkan itu tu beneran sering banget terjadi antara orang tua dan anak. Terima kasih sudah sharing mbak 😊

    BalasHapus
  10. Saya nih kadang melarang anak menangis, saking si kakak kalau nangis lebay banget dengan mulutnya dibuka lebar-lebar :D
    Bukan melarang juga ding, tapi memberi tahu kalau nangis boleh, tapi jangan biasakan nangis kayak gitu, nantinya malu diejek temannya hehehe

    BalasHapus
  11. Bener banget mbak.. Aku masih belajar untuk menahan emosi saat berkomunikasi dengan anak. Kalau udah "panas" paling bisa nahan dirinya diem dulu dan tarik nafas beberapa kali sebelum menjawab pertanyaan si kecil. hehe..

    BalasHapus
  12. Benar banget semua mba, makasi pencerahannya aku seringnya komunikasi 1 arah, hhuuhu

    BalasHapus
  13. MasyaAllah sangat bermanfaat. Terima kasih ya sudah sharing. Bener banget sih apalagi di bagian nyambi hehe. Soalnya gemes digangguin terus kalau lagi kerja gak selesai-selesai wkwkw

    BalasHapus
  14. Wah bener banget semua pembahasan di tulisan ini. Masih banyak PR yang harus dilakukan ketika menjadi ibu. Soal nakutin anak nanti disuntik dokter atau ditangkep polisi kalo ga mau makan emang ga masuk akal haha suka merasa konypk kalo inget dulu aku pernah dibilangin begitu hihii

    BalasHapus
  15. Noted mbak buat bahasannya. Aku belum jadi orangtua dan ini semacam PR buatku nanti kalau punya anak jangan sampai melakukan kesalahan-kesalahan seperti yang disebutkan.

    BalasHapus
  16. Kadang ya sebagai emak-emak suka kelepasan ngomong bernada tinggi ke anak, kalau anak lagi susah diatur. Huuft harus pintar-pintar manajemen emosi diri nih biar gak berimbas ke anak. Terima kasih sudah diingatkan.

    BalasHapus
  17. Duh poin no 8 PR besar ini.. Ini poin paling sering dilakukan. Huhu. Mulai sekarang harus dilatih untuk ngobrol fokus sama anak. Makasih insight nya mbaa

    BalasHapus
  18. No 11 itu yg paling gaenak menurutku, aku dulu sering banget dibanding2kan dengan anak lain dan itu berdampak banget sama kesehatan mentalku, sampai akhirnya orang tuaku sadar dan gak pernah membanding2kan aku/adekku lagi dengan orang lain.

    BalasHapus
  19. Kakk terima kasih banyak ya ini sangat mengedukasi aku untuk next jadi orang tua nanti. Itu kenapa orang tua juga banyak bukunya ya, karena memang sepenting itu membesarkan anak sejak dini. Apalagi diusia usia muda kaya 2-5 tahunan yang kalau kita melakukan sesuatu saja bisa terekam di diri mereka..

    Wih keren kok aku tau ya padahal blm punya anak wkwkwk ya karena sering liat juga di berbagai sosmed tentang edukasi semacam ini, dan yg pasti sangat membantu untuk aku nanti hehe

    BalasHapus
  20. Makasih banyak mom sharingnya. Aku PR banget nih pola komunikasi dengan anak masih banyak khilafnya. Apalagi trauma masih lalu juga masih membekas dan ikut mempengaruhi pola komunikasi saat ini.

    BalasHapus
  21. Haaa..yang terakhir, orang tua tanya sendiri dan jawab sendiri ini emang tanpa sadar sering dilakukan. Emang kita jadi orangbtua selalu saja jadi hakim, polisi dan pengacara 🤣

    BalasHapus

Posting Komentar